Kamis, 02 Juni 2011

adat budaya minangkabau

ABSTRAK
Kedudukan bundo kanduang dalam undang-undang Minangkabau bukan sahaja sebagai penentu zuriat, tetapi juga penguasa rumah gadang dan pemilik harta pusaka, maka ia juga berperanan yang tertonjol sebagai penyimpan hasil usaha ekonomi keluarga. Sehubungan itu, banyak perwatakan diharapkan daripadanya. Antaranya ia harus bersifat yang benar, jujur dan cerdik, selain
arif lagi penyabar.
Kata kunci: Bundo kanduang, undang-undang adat Minangkabau, rumah gadang
ABSTRACT
The position of bundo kanduang in Minangkabau customary law is not only that as determinant of descendants, but also manager of rumah gadang and owner of inherited property, thus playing a preeminent role in family economy. In this context, she is expected to possess many characteristics. Among them are that she must be right, honest, intelligent, besides wise and full of endurance.
Keywords: Bundo kanduang, Minangkabau customary law, rumah gadang

PENGENALAN
Sebelum memperkatakan peranan dan kedudukan perempuan dalam adat Melayu Serumpun, perlu disepakati dahulu tentang konsep Melayu Serumpun. Ia setidaknya dapat difahami dari dua makna: masyarakat Melayu Polinesia dan masyarakat atau suku-suku bangsa di Nusantara. Dalam makalah ini saya ingin memperkatakan Melayu Serumpun dalam rangka masyarakat atau suku-suku bangsa di Nurantara.
Continue reading ‘Peranan dan Kedudukan Perempuan Melayu dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat’

i
Rate This
Quantcast

Reposisi Peran Dan Fungsi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Bagi Masyarakat Nagari Dewasa Ini

•May 16, 2011 • 2 Comments

‘Musyawarat’ – asas demokrasi -,  Sebagai Dasar  Mengembangkan  ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’



Oleh : H. Mas’oed Abidin
( I )
Firman Allah menyatakan, “ Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa)dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13).
Nabi Muhammad SAW memesankan bahwa “Perbedaan ditengah-tengah umatku adalah rahmat” (Al Hadist). Dan sebuah lagi, “innaz-zaman qad istadara”, bahwa sesungguhnya zaman berubah masa berganti (Al Hadist).
Untaian kata hikmah di Minangkabau mengungkapkan  “Pawang biduak nak rang Tiku, Pandai mandayuang manalungkuik, Basilang kayu dalam tungku, Disinan api mangko hiduik”.
Selama 31 tahun, telah terjadi banyak perubahan, dan kita tidak boleh berbeda terutama terhadap sistim pemerintahan local yang khas — Nagari di Minangkabau – menjadi segaram, dengan diberlakukannya UU No.5 tahun 1979.
Kembali ke Nagari semestinya lebih dititik beratkan kepada kembali banagari.
Perubahan cepat yang sedang terjadi, apakah karena sebab derasnya gelombang arus globalisasi, atau penetrasi budaya luar (asing) telah membawa akibat bahwa perilaku masyarakat, praktek pemerintahan, pengelolaan wilayah dan asset, serta perkembangan norma dan adat istiadat di banyak nagari di Sumatera Barat mulai tertinggalkan.
Perubahan perilaku tersebut tampak dari lebih mengedepannya perebutan prestise yang berbalut materialistis dan individualis.
Akibatnya, perilaku yang kerap tersua adalah kepentingan bersama dan masyarakat sering di abaikan.
Menyikapi perubahan-perubahan  sedemikian itu, acapkali idealisme kebudayaan Minangkabau menjadi sasaran cercaan.
Indikasinya terlihat sangat pada setiap upaya pencapaian hasil kebersamaan (kolektif dan bermasyarakat) menjadi kurang diacuhkan dibanding pencapaian hasil perorangan (individual).
Sebenarnya, nagari dalam daerah Minangkabau (Sumatera Barat) seakan sebuah republik kecil. Mini Republik ini memiliki sistim demokrasi murni, pemerintahan sendiri, asset sendiri, wilayah sendiri, perangkat masyarakat sendiri, sumber penghasilan sendiri, bahkan hukum dan norma-norma adat sendiri.
(II)
Sebagai masyarakat beradat dengan pegangan adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, maka kaedah-kaedah adat itu memberikan pula pelajaran-pelajaran antara lain,
1. Mengutamakan prinsip hidup keseimbangan.
Karena ni’mat Allah, sangat banyak. Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18).
Hukum Islam menghendaki keseimbangan antara  perkembangan hidup rohani dan perkembangan jasmani ;
“Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara” (Hadist).
Continue reading ‘Reposisi Peran Dan Fungsi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Bagi Masyarakat Nagari Dewasa Ini’

i
2 Votes
Quantcast

PASAN MAMAK IV

•May 2, 2011 • 2 Comments

Nan kanduang gadih nan jombang
Kamanakan dek badan diri
Lah tigo surek malayang
Nyampang kok alun tapahami
Mamak ulang sakali lai
Disurek nan ka ampek
Ibarat urang mangaji
Di ulang ulang kok lai dapek
Dibulak baliak bak mamanggang
Di ulang ulang bak manyapuah
Kalau disimak tarang tarang
Jo kieh mamak bapitaruah
Baitulah kito urang diminang
Ma aja anak kamanakan
Indak bacurito taruih tarang
Tapi ba umpamo ba kiasan
Alam takambang jadi guru
Baraja ka pangalaman
Ado nan patuik ditiru
Ado nan pantang dilakukan
Continue reading ‘PASAN MAMAK IV’

i
6 Votes
Quantcast

Surau: Melirik Aktifitas Transmisi Keilmuan Islam Tradisional

•April 29, 2011 • Leave a Comment
Oleh: Apria Putra
Tulisan ini dikutip dari Penelitian Kelompok penulis pada PUSLIT IAIN Padang, 2010
A. Surau dalam Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau
Dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, Surau merupakan institusi yang tidak bisa dikesampingkan. Surau memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menyebarkan keilmuan Islam jauh sebelum pendidikan modern yang berbasis Madrasah muncul. Dalam sejarah tercatat, tokoh-tokoh besar yang mempunyai pengaruh luas banyak lahir dari Surau. Mereka dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Surau. Sebutlah beberapa nama seumpama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916) yang pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i dan Imam di Mesjid al-Haram Mekah; Syekh Thahir Jalaluddin yang menjadi Mufti di Pulau Penang Malaysia; Syekh Janan Thaib yang menjadi guru besar pula di Mekah al-Mukarramah, dan banyak lagi lainnya. Begitu pula tokoh-tokoh nasional yang berjasa dalam masa awal pembentukan Indonesia, semisal Agus Salim, Hamka, Hatta dan lainnya. Ketokohan mereka tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari Surau, atau boleh dikata pernah beroleh pendidikan di Surau.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Poerwadarminta, Surau diartikan sebagai tempat sembahyang (shalat), mengaji dan langgar. Sedangkan Gerard Moussay dalam Dictionnaire Minangkabau Indonesien menyebutkan bahwa surau ialah tempat belajar Agama; surau digunakan juga sebagai asrama bagi remaja yang mulai tumbuh dewasa.
Dalam Ensiklopedi Pendidikan yang ditulis oleh Soegarda Poerbakawatja, dkk, disebutkan bahwa surau merupakan tempat belajar di Sumatera Barat. Di surau diberikan pelajaran keagamaan. Secara umum Poerbakawatja membagi institusi surau dalam dua tipe, besar dan kecil. Surau besar menyelenggarakan pelajaran rendah sampai yang tinggi. Sedangkan sifat pelajaran dari surau-surau kecil hanya terdiri dari pelajaran menghafal dan menulis. Menurut Snouck Hurgronye, seorang yang rajin dan cerdas akhirnya dapat membaca dan memahami buku-buku fiqih di Surau-surau yang besar dibawah pimpinan seorang guru yang pandai dan bijaksana.
Sedangkan AA. Navis dalam Alam Takambang Jadi Guru memberikan gambaran bahwa surau pada mulanya hanya berfungsi sebagai tempat tinggal laki-laki duda dan bujangan. Lambat laun fungsinya menjurus sebagai tempat pendidikan Agama Islam, menjadi tempat mukim bagi siapa saja yang datang untuk belajar agama, sehingga ulama-ulama muda yang mendapat pendidikan dari sana disebut orang surau. Surau demikian tak obahnya pesantren di Jawa. Surau yang tetap berfungsi seperti asalnya masih ada hingga kini.
Mengenai asal mula penamaan surau, disebutkan bahwa surau pada mula keberadaannya berfungsi sebagai biara budha di Minangkabau, yakni sebelum masuknya pengaruh Islam. Dimasa itu Adityawarman telah membuat sebuah model surau di Minangkabau sebagai pusat pengembangan agama budha. Bahkan dikatakan bahwa asal surau itu dari kata Saruaso, sebuah nama daerah, yang secara harfiyah bermakna surau asal, “surau” dan “aso”. Fungsi ini lama kelamaan berubah setelah masuknya agama Islam, apakah yang berasal dari pantai timur Sumatera atau pantai barat. Hingga akhirnya Surau identik dengan pusat pendidikan Islam di masa lalu.
Sebelum fungsi surau sempurna, surau menjadi milik suku tertentu di Minangkabau. Adapun karakter surau di masa itu ialah:
1) Tempat tinggal bagi anak-anak yang telah berusia lebih dari 6 tahun, para bujangan, duda, pelancong dan orang-orang tua.
2) Tempat berembut mencari mufakat bagi kaum atau suku.
3) Tempat berkumpul, berkomunikasi dan bertemunya anak kemenakan, ipar, bisan dan bako.
4) Tempat mensosialisasikan adat, sopan santun dan tata pergaulan.
5) Tempat belajar silat.
Setelah mendapat pengaruh Islam yang kental, maka fungsi surau bertambah dengan:
1) Tempat belajar mengaji dan sembahyang.
2) Tempat ibadah sehari-hari.
Continue reading ‘Surau: Melirik Aktifitas Transmisi Keilmuan Islam Tradisional’

i
1 Vote
Quantcast

Cermin Bagi Provinsi Pusat Industri Otak

•April 28, 2011 • Leave a Comment
Suryadi*
Padang Ekspres, 28 Des 2008
SEJARAH mencatat bahwa masyarakat Minangkabau adalah etnis yang sangat responsif terhadap kebijakan pendidikan dan politik Belanda di zaman kolonial. Asal-usul Elite Minangkabau Modern memberi kupasan mendalam tentang reaksi masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda di daerah ini sejak pertengahan abad ke-19.
Jauh jarak waktu yang telah ditempuh buku ini untuk sampai kepada pembaca Indonesia. Buku ini berasal dari disertasi Graves, “The Ever-victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia solved their ‘colonial question’” (University of Wisconsin, 1971) yang kemudian diterbitkan tahun 1981 yang berjudul The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project). Baru 26 tahun kemudian edisi Indonesianya terbit. Karena itu selayaknya pujian diberikan kepada para penerjemah, editor ahli, dan penerbit yang telah berupaya menghadirkan buku ini kepada pembaca Indonesia.
Judul utama versi Indonesia buku ini langsung berperan sebagai “etalase” yang menggiring pembaca untuk membayangkan isinya yang memang berbicara tentang sejarah kemunculan kaum elite Minangkabau modern sebagai efek pengenalan pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda di daerah ini.
Penulis mengawali uraiannya dengan mendeskripsikan alam Minangkabau dan masyarakat tradisionalnya (Bab 1; hlm.1-34). Ada dua topik utama yang dibahas dalam bab ini, yaitu sistem nagari yang khas Minangkabau, dan sistem matrilineal yang sangat mewarnai pola kekerabatan (kinship) dalam keluarga Minangkabau serta sistem pewarisan harta di antara anggota keluarga.
Bab 2 (hlm.35-60) masih membahas nagari dan dunia kehidupannya. Nagari adalah “republik-republik kecil” yang membentuk semacam federasi semu dan berada dalam entitas geografis, budaya, dan politik di bawah wibawa (bukan kuasa) raja Pagaruyung. Penulis juga membahas tradisi merantau yang menjadi saluran masuknya ide-ide pembaharuan ke Minangkabau sekaligus sebagai katup pelepas untuk mengurangi tekanan-tekanan dan letupan sosial di Minangkabau. Selanjutnya dibahas pula kemunculan lembaga-lembaga Islam dan perkembangannya, yang mula-mula memberi ciri tertentu kepada sturuktur sosial masyarakat Minangkabau di kawasan pantai (barat) tetapi akhirnya membawa pengislaman ke pedalaman yang berujung pada munculnya gerakan puritanisme yang dikenal sebagai Perang Paderi.
Continue reading ‘Cermin Bagi Provinsi Pusat Industri Otak’

i
Rate This
Quantcast

Lagu Jenaka Minangkabau

•April 27, 2011 • Leave a Comment
– Deddy Arsya*
WISRAN Hadi dalam sebuah tulisan menyimpulkan, ada beberapa ciri atau karakteristik jenaka yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Jenaka Minangkabau tidak mengeksploitir atau mengeritik kekurangan yang ada pada tubuh pribadi-pribadi; menekankan pada “permainan” kata dan makna; tidak bertendensi untuk memperbodoh-bodohkan seseorang; kritik terhadap sesuatu keadaan, kondisi, perlakuan dan luahan perasaan dari ketertekanan, ketakutan dan kemualan yang terjadi di sekeliling kehidupannya. Menurut Wisran lagi, jenaka hanya merupakan “bungkus” saja dari isi. Dengan demikian, jenaka bukan merupakan tujuan, tetapi menyampaikan isinya, itulah tujuan utamanya.
Lalu bagaimana lirik-lirik lagu Minang yang mengandung unsur-unsur kejenakaan berkembang dari waktu ke waktu, sampai kepada lirik-lirik lagu jenaka Minang kontemporer hari ini? Lewat pemetaan ini sesungguhnya dapat membaca bagaimana perubahan dan dinamika kebudayaan Minangkabau sendiri dalam unsur Sistem Komunikasi (bahasa) secara luas.
Jika orang Minang dikatakan tidak mau berbahasa berterus-terang karena orang yang berbicara berterus-terang adalah orang yang baru tahu berbahasa, dan belum mencapai tahap bisa atau pandai dan lincah, adab dan seni berbahasa. Namun bagaimana kredo itu dapat bertahan ketika bahasa yang berbelit-berbelit dan pelik (dengan bunga-bunga bahasa atau metafor-metafor yang rumit) dianggap menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Karena dunia hari ini menginginkan yang serba praktis dan efisian, termasuk dalam berbahasa, dapat menggantikan yang rumit dan pelit tersebut. Adakah anggapan itu terbukti dengan mengambil sampel lirik-lirik jenaka lagu Minang sebagai cerminan. Di tahun 1959, dipopulerkan oleh Oslan Husein, ada lagu dengan judul Geleang Geleang Sapik.
Continue reading ‘Lagu Jenaka Minangkabau’

i
Rate This
Quantcast

Pisau Tajam Mamak

•April 25, 2011 • Leave a Comment
SEBUAH ungkapan Minangkabau mengatakan: mamak bapisau tajam, kamanakan badagiang taba.  Maksud­nya semua niniak mamak pemangku adat yang disebut dengan penghulu dan semua mamak rumah yang bukan penghulu mempunyai kewenangan dan tanggung jawab terhadap anak kemena­kannya.
Disimbolkan dengan pisau tajam itulah ia memiliki kekuatan untuk mengurus kaum, suku dan nagarinya. Sedangkan kamanakan badagiang taba bisa diibaratkan dengan anak kemenakan yang punya kemampuan memadai, baik pengetahuan, wawasan, pergaulan, kepangkatan dan perekono­miannya.
Nah, sekarang bagaimana mamak bisa memainkan pisau tajamnya dan kemanakan bisa pula menempatkan dagiang tabanya?
Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat kondisi yang berkembang akhir-akhir ini dalam kehidupan masyarakat kita, khususnya dalam tatanan adat budaya Minangkabau.  Semakin hari terjadi penurunan sikap mental atau taratik dan bahkan sudah jauh dari norma-norma yang berlaku.
Oleh karena kemajuan teknologi informasi, maka sudah banyak yang sumbang salah dan malahan ada pula sawah nan indak bapamatang lagi.  Ini semua kenyataan dan kondisi yang kita lihat sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda.
Continue reading ‘Pisau Tajam Mamak’

i
Rate This
Quantcast

Kato Pusako : K A T O

•April 23, 2011 • Leave a Comment

Anggang tabang bamangkuto
Rajo bajalan badaulaik
Alang sariknyo bakato-kato
Tiok kato baalamaik
 
Tahu dihereang jo gendeang
Tahu diraso jo pareso
Tahu dikilek jo bayang
Tahu dialamaik kato sampai
Tahu digelek kato habih
Tahu di dahan kamaimpok
Tahu di duri kamancucuak
 
Malangkah di ujuang padang
Basilek di pangka karih
Kato salalu baumpamo
Rundiang salalu bakiasan
 
Kato rajo kato malimpahan
Kato panghulu kato manyalasai
Kato malin kato hakikaik
Kato guru kato pangaja
Kato manti kato bahubuang
Kato dubalang kato mandareh
Kato dagang kato mamacah
Kato parampuan kato marandah
Kato urang banyak kato bagalau
 
Kato nan ampek
Partamo kato pusako
Kaduo kato mupakaik
Katigo kato dahulu batapek-i
Kaampek kato kudian kato bacari
 
 Continue reading 'Kato Pusako : K A T O'

i
1 Vote
Quantcast

100 Tahun Pemberdayaan Perempuan Minangkabau

•April 21, 2011 • Leave a Comment
Oleh Emil Salim
Seratus tahun lalu, tanggal 11 Februari 1911, di rumah pemrakarsa pertemuan, Rekna Puti, yang masih berusia 23 tahun, diselenggarakan pertemuan dipimpin oleh Ruhana (27 tahun). Pertemuan dihadiri 60 perempuan, empat orang ninik-mamak dan ulama.
Mereka sepakat membentuk perkumpulan ”Karadjinan Amai Satia” (KAS) di Kotogadang dengan tujuan: ”Memajukan perempuan di Kotogadang dalam berbagai aspek kehidupan untuk mencapai kemuliaan seluruh bangsa.” Rapat menyepakati pengurus dipimpin Ruhana (Ketua), Rekna Puti (Sekretaris), dan Hadisah, Adisah, Rabai, serta Fatimah sebagai komisaris.
Kotogadang adalah sebuah kampung kecil di tepi Lembah Ngarai dataran tinggi Agam, di hadapan kota Bukittinggi. Sejak abad ke-18, laki-laki merantau mencari ilmu, menjadi pandai emas, dan berdagang. Kaum perempuan, yang tinggal di kampung, waktu muda belajar agama dan adat istiadat, keterampilan menjahit, menyulam, bertenun, merenda, dan menata rumah. Waktu dewasa perempuan disiapkan menjadi istri dan ibu yang baik serta menantu yang sopan.
Protektif pada perempuan
Kehidupan sosial Minangkabau memberlakukan sistem matrilineal, pewarisan, dan kepala keluarga mengikuti garis keturunan ibu. Sedangkan adat istiadat Minangkabau bersendikan ajaran agama Islam. Keadaan ini menumbuhkan pola kehidupan sosial yang sangat protektif terhadap kaum perempuan. Apabila di zaman Kolonial Hindia Belanda sulit memperoleh pendidikan formal bagi kaum laki-laki, maka kondisi perempuan Minangkabau lebih sengsara lagi.
Baru tahun 1846, Residen Steinmetz membuka Sekolah Nagari di Bukittinggi. Banyak murid laki-lakinya berasal dari Kotogadang. Bahkan, pada tahun 1860-an, orang Kotogadang menjadi guru Sekolah Nagari Bukittinggi. Kesempatan berpendidikan ini mendorong para laki-laki Kotogadang melanjutkan pelajaran ke Pulau Jawa di sekolah lanjutan HBS (setingkat SMP-SMA), STOVIA (sekolah kedokteran), dan lain-lain. Akan tetapi, lagi-lagi kaum perempuan tertinggal di kampung tidak mengenyam pendidikan formal.
Continue reading ’100 Tahun Pemberdayaan Perempuan Minangkabau’

i
2 Votes
Quantcast

Kepemimpinan Minangkabau : Aspek Teoritis

•April 18, 2011 • Leave a Comment
Oleh : Muhammad Ilham & Rusydi Ramli
Dari perspektif sosiologi kepemimpinan, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan seni seorang leader (pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/ kelompok dalam melaksanakan peran dan fungsi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Dalam perspektif perubahan sosial, kepemimpinan adalah maksimalisasi potensi pengaruh untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik atau menjaga konsensus yang telah ditetapkan secara bersama-sama. [1] Kepemimpinan merupakan salah satu bentuk fenomena sosial. Tidak berlebihan bila ada yang merumuskan bahwa kepemimpinan itu sudah ada sejak lama, sejak dikenalnya peradaban manusia itu sendiri. George R. Terry mengatakan bahwa kepemimpinan adalah untuk mempengaruhi orang lain agar dapat diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi/institusi. Bahkan tujuan tersebut tifak hanya tujuan organisasi tetapi juga tujuan individual.[2] Agar perwujudan pengaruh seorang pemimpin dapat berlangsung secara efektif, seringkali diperlukan kekuasaan atau wewenang. Artinya, perbincangan masalah kepemimpinan, maka ada keterkaitannya dengan pengaruh (influence), kewibawaan (charisma), kekuasaan (power) dan wewenang (authority). Faktor-faktor di atas akan memberikan arah pada pola kepemimpinan seseorang. Makin besar pengaruh dan otoritas yang dipunyai oleh seorang pemimpin, makin besar pula peluangnya untuk mempengaruhi orang lain. Banyak teori yang mengatakan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Adapula yang mengatakan bahwa seorang pemimpin itu terjadi karena adanya komunitas-komunitas atau kumpulan-kumpulan individual dan ia melakukan pertukaran dengan yang dipimpin. Teori lain mengatakan bahwa pemimpin itu lahir dikarenakan situasinya memungkinkah ia tersebut ada. Ada lima kategori seorang pemimpin mendapatkan kekuasaannya untuk boleh mempengaruhi orang lain. Lima kategori adalah : legitimate power[3], expert power[4], charismatic power[5], reward power dan coercive power[6]. Kelima kategori sumber kekuasaan bertalian erat atau berkaitan dan melekat pada diri seorang pemimpin. Sedangkan Max Weber membagi kepemimpinan tersebut dari perspektif otoritas atas tiga bagian yaitu otoritas kharismatik, otoritas tradisional dan otoritas rasional. Dalam penelitian ini, kepemimpinan didasarkan pada otoritas tradisional yang didasarkan pada pengakuan kultural. Biasanya, kepemimpinan yang didasarkan kepada kepemimpinan tradisional (termasuk juga kepemimpinan genealogic-hereditically atau keturunan dan kharismatik), sangat memudahkan dalam mempengaruhi masyarakat.
Continue reading ‘Kepemimpinan Minangkabau : Aspek Teoritis’

i
Rate This
Quantcast

Tidak ada komentar:

Posting Komentar